Senin, 30 September 2013

Mengenang G30S

Nelson Mandela pernah mengatakan We Can Forgive but Not Forget.

Dalam sebuah peristiwa sejarah, banyak hal yang mewarnai perjalanannya hingga dapat dipahami oleh manusia di zaman selanjutnya. Seperti interpretasi atas cerita yang boleh jadi ditulis oleh pemenang atau penguasa. Namun sejarah tetaplah sejarah, waktu akan menilai sejauh mana kebenaran atas kisah itu sendiri. Pada hari ini tertanggal 30 september 2013 ingatan kita mengarah pada suatu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah bangsa ini yang terjadi berpuluh tahun lalu.

G30S atau Gestok atau Gestapu juga masih belum selesai untuk dibahas sampai pada hari ini, dimana suatu usaha kup yang ditujukan kepada Jendral TNI AD pada saat itu berakhir dengan pembantaian ratusan ribu orang yang diduga PKI.  Bila kita cermati lebih mendalam usaha ini seolah sebuah usaha yang perencanaannya prematur. Karena resiko kegagalan yang tinggi diimbangi dengan misi yang dihasilkan sangat tidak berimbang. Memang pada saat itu PKI sangat dibenci banyak kalangan terutama kaum Nahdiyin yang seringkali bersebrangan bahkan dianiaya oleh golongan PKI garis keras.

Konflik horizontal mewarnai sejarah panjang bangsa ini dengan keunikannya tersendiri, pasca kegagalan G30S banyak terjadi diskriminasi sosial di wilayah Jawa. Tidak sedikit dari mereka yang tidak bersalah menjadi korban fitnah dan pembunuhan masal, hal ini harus dibayar mahal oleh bangsa ini dengan tidak menutup buku atas permasalahan ini. Tentunya kita tidak ingin hal ini terulang kembali, menimbang masyarakat Indonesia masih banyak yang mudah terprovokasi dan sering kali tidak berfikir jernih sebelum bertindak. Dalam film dokumenter berjudul Jagal kita dapat menyaksikan bagaimana bengisnya manusia yang mengaku beragama menyiksa orang yang dituduhnya sebagai PKI dengan sangat bangga, jelas hal ini jauh dari rasa kemanusiaan. Terlepas dari identitas orang PKI atau bukan, tidak dibenarkan masyarakat melakukan peradilan sendiri tanpa melalui proses hukum. Pada saat itu Soeharto berpidato sebagaimana pemegang surat sakti Supersemar, yang mana bermaksud bahwa pembantaian itu menjadi hal yang wajar. Wajah Orde Baru digariskan sebagaimana kebencian memulai rezimnya yang sarat akan pelanggaran HAM. Pada akhirnya kita harus sedikit dewasa dalam mencermati peristiwa itu, sudah seharusnya kita mendoakan mereka yang menjadi korban atas masalah ini, sehingga kedepan kita bisa lebih menghargai nyawa manusia yang tidak bisa tergantikan oleh apapun, apalagi hanya sebatas kekuasaan semu yang sekali waktu akan habis masanya.

Rabu, 18 September 2013

Lelaki di Seberang Jalan

sore ini ku rasa kan langkahku mulai goyah
tanpa pijakan yang kuat , ku coba bertahan dalam kegamangan
ku soroti jalanan dengan muka pucat pasi

seakan langit kan menarikku tinggi
atau bumi yang akan segera menguburku hidup
pelan-pelan memori lama bermunculan
di terpa angin sore yang kini tak lagi bersahabat

nafas-nafas yang kini memberat tak mampu mengimbangi alunan udara senja
atau jiwa-jiwa yang mulai pupus berusaha bertahan dalam kesepian
lalu apa yang lebih ironi dari matinya sebuah jiwa di tubuh yang hidup
lalu apa yang lebih dramatis dari hilangnya harapan hidup manusia

akankah masa itu datang kembali
disaat tawa kita lepas bagai burung di atas pohon itu
atau haruskah aku menunggu mu di seberang jalan ini
pada akhirnya kita harus berdamai dengan rasa takut
atau sekedar berserah diri
demi harapan yang tak sampai
demi mimpi yang terlewat

karena pada suatu saat kau akan mengerti
bahwa cinta bukan dicari , ataupun diraih
cinta hadir disaat-saat yang tak tepat
atau mungkin dia ada dalam kejujuran malam